Seseorang dapat dikatakan tidak subur jika belum memiliki anak setelah berhubungan seksual aktif tanpa pengaman setidaknya selama 1 tahun. Masalah kesuburan ini seringkali menjadi tekanan tersendiri, terutama bagi pasangan yang ingin sekali memiliki anak. Seseorang dengan masalah kesuburan (infertil) diketahui memiliki risiko depresi, kecemasan, dan stres yang tinggi. Pertanyaannya, apakah masalah kesuburan (infertilitas) menyebabkan stres, atau stres yang dapat menyebabkan infertilitas itu sendiri? Simak penjelasannya pada artikel berikut!
Sebuah studi literatur menunjukkan, prevalensi gejala gangguan psikologis pada wanita yang terdiagnosis infertil (tidak subur) sebesar 25-60%. Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati masalah kesuburan, termasuk clomiphene, leuprolide, dan gonadotropine, berhubungan dengan gejala psikologi seperti kecemasan, depresi, dan mudah tersinggung.
Oleh karena itu, sulit untuk menilai gejala pada wanita yang sedang menjalani pengobatan masalah kesuburan. Sulit sekali untuk membedakan antara gejala psikologis dan efek samping dari pengobatan itu sendiri.
Studi yang dilakukan oleh National Institute of Health dan Oxford University menunjukkan bahwa stres dapat menurunkan peluang seorang wanita untuk hamil. Para peneliti menyebutkan bahwa wanita yang memiliki kadar zat alfa-amilase tinggi, lebih kecil kemungkinannya untuk hamil jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki kadar alfa-amilase yang lebih rendah.
Alfa-amilase merupakan salah satu zat yang digunakan sebagai barometer respon tubuh terhadap stres fisik atau psikologis. Zat ini dikeluarkan ketika sistem saraf memproduksi katekolamin, senyawa yang memulai sejenis respon stres.
Tidak pada wanita saja, ternyata stres juga dapat mempengaruhi kesuburan pria.
Pam Factor Litvak, PhD, pada studinya yang dipublikasikan oleh jurnal Ferility and Sterility, mengatakan bahwa “Pria yang merasa stres cenderung memiliki konsentrasi sperma yang lebih rendah saat ejakulasi, dan sperma yang dihasilkan cenderung memiliki masalah bentuk (cacat) dan mengalami gangguan motilitas”
Hingga kini, belum diketahui secara pasti bagaimana stres dapat mempengaruhi kualitas air mani dan sperma. Namun, penjelasan yang paling mungkin adalah karena pelepasan hormon steroid yang disebut glukokortikoid, dapat menumpulkan kadar testosteron dan produksi sperma.
Kemungkunan lainnya adalah adanya stres oksidatif yang terbukti dapat mempengaruhi kualitas air mani dan kesuburan.
Untuk mencegah dan mengatasi stres yang dapat mempengaruhi kesuburan, kamu dapat mencoba melakukan beberapa hal berikut:
Jadi, dapat kita ketahui bersama bahwa stres dapat mempengaruhi kesuburan. Begitupun sebaliknya, obat gangguan kesuburan yang kita konsumsi, mungkin juga dapat menimbulkan efek samping yang dapat menyebabkan stres dan kecemasan.
Oleh karena itu, penting sekali untuk mencegah dan meminimalisir stres. Terapkan pola hidup sehat serta hindari kebiasaan buruk yang dapat menyebabkan stres dan mengganggu kesuburan untuk kesuksesan promilmu dan pasangan.
Menerapkan pola hidup sehat merupakan salah satu cara untuk mencegah stres yang dapat mengganggu kesuburan. Ahli gizi bersertifikasi Sirka dapat membantumu untuk menyukseskan program hamil dan mewujudkan impianmu. Klik tautan ini untuk info lebih lanjut!
Sirka, platform kesehatan digital terkemuka di Indonesia, berhasil meraih penghargaan prestisius dari Asia-Pacific Action Alliance…
Norepinephrine - Obat yang bisa Menurunkan Berat Badan? Norepinephrine merupakan hormon dalam tubuh yang fungsinya…
Dapoxetine - Obat Ejakulasi Dini yang bisa Menurunkan Berat Badan? Dapoxetine merupakan obat yang digunakan…
Benzodiazepine - Obat Kejiwaan yang bisa Menurunkan Berat Badan? Benzodiazepine merupakan golongan obat yang tidak…
Klonazepam - Obat Kejang yang bisa Menurunkan Berat Badan? Klonazepam merupakan obat yang digunakan untuk…
Zonisamide - Obat Antiepilepsi yang bisa Menurunkan Berat Badan? Banyak obat yang beredar dan menawarkan…